BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, pelaksanaan demokrasi sudah
selayaknya tidak lagi menuntut perwujudan sesuai dengan arti katanya, yakni
rakyat memerintah. Istilah demokrasi mengandung suatu makna bahwa rakyatlah
yang memiliki kedaulatan, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi, rakyat
yang berhak menentukan corak dan cara mengendalikan pemerintah, dan rakyatlah
yang menentukan tujuan apa yang harus dicapai oleh negaranya (IKIP, 1988:61).
Secara etimologis istilah demokrasi berasal
dari bahasa Yunani. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa”. Ada pula
definisi singkat untuk istilah demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan
atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (Kaelan, 2010:55).
Terlepas dari semua itu praktek demokrasi
menunjukkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat tersebut tidak pernah
dapat dilaksanakan secara langsung, dalam arti perseorangan. Akan tetapi
kedaulatan tersebut dilaksanakan dengan melalui perwakilan. Hal ini dikarenakan
jumlah penduduk yang besar, wilayah negara yang luas dan permasalahan yang
dihadapi negara bersifat kompleks. Meskipun kedaulatan berada ditangan rakyat
dilaksanakan melalui perwakilan, bukan berarti mengurangi makna atau nilai
demokrasi itu sendiri.
Dalam sejarah negara Republik Indonesia yang
telah lebih dari setengah abad, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang
surut. Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang memiliki karakteristik
khusus yang dinamakan dengan “Demokrasi Pancasila“. Demokrasi Pancasila
diartikan sebagai paham demokrasi yang bersumber pada filsafat hidup bangsa
Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yang dalam hal
ini adalah Pancasila seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 (IKIP,
1988:63).
Demokrasi Pancasila itu adalah multi-complex,
jika dianalisa akan menghasilkan perincian sebanyak dan seluas pengertian lima
sila itu (Hazairin, 1973:24). Dalam makalah demokrasi ini kami mengambil studi
kasus demokrasi Pemilukada Bali, dikarenakan karena adanya oknum yang mencoblos
100 surat.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode :
1.
Periode 1945-1959, masa demokrasi
parlementer yang menonjolkan peran parlemen serta partai-partai
2.
Periode 1959-1965, masa Demokrasi
Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi
konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat.
3.
Periode 1966-1998, masa demokrasi
Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang
menonjolkan sistem presidensial.
4.
Periode 1999-sekarang, masa
demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai
yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara, antar
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik
kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Jikalau
esensi demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka praktek demokrasi
tatkala Pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu
banyak kebijakan tidak mendasar pada kepentingan rakyat, melainkan lebih ke
arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan
perkataan lain model demokrasi era reformasi dewasa ini kurang mendasarkan pada
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila saat ini dalam
pelaksanaannya memang kurang dipahami atau dimengerti oleh masyarakat
Indonesia, misalnya dalam Pemilihan Umum masih banyak penyelewengan oknum-oknum
pendukung partai melakukan kecurangan agar wakil dari partainya tersebut
memperoleh kemenangan.
Di makalah ini kita akan membahas salah satu
bentuk penyelewangan pelaksanaan salah satu pemilihan umum di daerah Bali, yang
banyak oknum mencoblos surat suara sebanyak 100 surat suara. Jelas sekali
tindakan ini tidak sesuai dengan sistem domkrasi kita yaitu demokrasi
Pancasila, karena demokrasi kita menganut asas keadilan untuk seluruh warga
negara Indonesia. Selain itu, tindakan
ini tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan pemilu yang menyatakan
bahwa pencoblosan surat pemilu dilaksanakan satu orang untuk satu suara.
Dalam sebuah berita di salah satu surat kabar
menyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Bali merekomendasikan
pemungutan suara ulang di TPS 3 Desa Bungkulan, Sawan, dan Buleleng, karena
ditemukan seorang pemilih dan Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS) mencoblos 100 suara. Tindakan tersebut sudah menyalahi prosedur dan
tidak standar, sebab pemilih menggunakan hak pilih lebih dari sekali.
Menurut salah satu Panitia Pemilu tersebut
mengatakan bahwa ada seseorang yang telah mendaftar dan dia langsung mengambil
sejumlah surat suara dan menuju ke bilik suara. Ketua KPPS di sana lalu datang
menghampiri orang tersebut, namun ternyata bukan untuk merebut surat suara,
tetapi juga ikut di dalam bilik selama beberapa saat dan membantu memasukkan
surat suara yang sudah dicoblos ke kotak suara. Orang tersebut dan Ketua KPPS
diketahui mencoblos sebanyak 100 surat suara, kejadian itu diketahui karena
adanya selisih antara pemilih yang hadir dengan surat suara yang ada di dalam
kotak suara. Sikap Ketua KPPS ini juga sangat tidak sesuai dengan demokrasi
Pancsila negara kita ini karena panitia pemilu harus bisa bersikap adil
terhadap segala keputusan calon pasangan mana yang menang atau kalah. Ketua
KPPS itu juga mengingkari janjinya karena sebelum pelaksanaan pilkada itu
seluruh Ketua KPPS di sumpah untuk tidak melakukan kecurangan atau tindakan
untuk memenangkan salah satu calon pasangan pemimpin.
Pelaku atas tindakan yang dilakukan tersebut
telah memenuhi unsur tindak pidana pemilih pilkada yang diatur pada Pasal 117
ayat 3 dan 4 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Ancaman hukumannya menurut
ketentuan tersebut minimal di penjara satu bulan dan maksimalnya selama satu
tahun. Selain itu, pelaku juga dikenakan denda minimal Rp 100.000 dan maksimal
Rp 1.000.000
Tindakan kecurangan ini perlu mendapat
perhatian hukum, maksudnya adalah pelaku harus dihukum sesuai dengan apa yang
sudah ditentukan dalam pasal-pasal itu. Karena negara kita ini adalah negara
hukum, jadi segala sesuatunya berlandaskan pada hukum dan UU. Lembaga
kepolisian harus bersikap adil dalam menghukum kedua orang tersebut tanpa
memandang jabatan atau orang penting dalam suatu partai politik. Tindakan
semacam ini harus dilakukan secara tegas, agar sistem demokrasi Pancasila di
Indonesia ini berjalan sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang berlaku tanpa
ada penyelewengan atau tindakan kecurangan. Karena Demokrasi Pancasila
menciptakan masyrakat yang aman, tenteram, dan damai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis istilah demokrasi berasal
dari bahasa Yunani. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa”. Ada pula
definisi singkat untuk istilah demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan
atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi negara Indonesia adalah demokrasi
Pancasila, tapi dalam praktiknya yaitu pemilu banyak ada adanya kecurangan
dalam pemilu tersebut. Salah satunya adalah pemilukada di Bali yaitu adanya
seseorang yang mencoblos 100 surat suara. Jelas sekali tindakan ini tidak
sesuai dengan demokrasi Pancasila dan tidak sesuai dengan UU pemilu.
Tindakan kecurangan ini perlu mendapat
perhatian hukum, maksudnya adalah pelaku harus dihukum sesuai dengan apa yang
sudah ditentukan dalam pasal-pasal itu. Karena negara kita ini adalah negara
hukum, jadi segala sesuatunya berlandaskan pada hukum dan UU dan tindakan
semacam ini harus dilakukan secara tegas, agar sistem demokrasi Pancasila di
Indonesia ini berjalan sesuai dengan ketentuan - ketentuan yang berlaku tanpa
ada penyelewengan atau tindakan kecurangan.
DAFTAR RUJUKAN
Hazairin, Dr. 1973. Demokrasi
Pancasila. Jakarta : Tintamas Indonesia.
Kaelan, H dan Zubaidi
A. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta :
Paradigma.
Malang, IKIP. 1988. Pancasila
Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Malang : Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan IKIP Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment Please...