TRADISI ADAT JAWA DALAM
PROSESI
MITONI ATAU TINGKEPAN
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Dasar Dasar Antropologi
yang dibina oleh Bapak Waskito, S. Sos, M. Hum
oleh
Adi Supriyatno 130732607176
Mei Wulandhari 130732616146
Muhammad Nashrulloh 130732607185
Nafisatul Farida 130732607186
Novita Sari 130732616147
Endra Wahyudi 130732607174
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
September
2013
Rasa syukur yang dalam
kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya
makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam makalah
ini kami membahas “TRADISI ADAT JAWA DALAM PROSESI MITONI ATAU TINGKEPAN “.
Makalah ini dalam rangka penyusunan makalah kelompok.
Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah Dasar Dasar Antropologi Bapak Waskito,
S. Sos, M. Hum yang telah membimbing penyusun sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.
Penyusun menyadari
bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menambah
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah “TRADISI
ADAT JAWA DALAM PROSESI MITONI ATAU TINGKEPAN “ ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca.
Malang,
23 September 2013
Penyusun
Pada
masyarakat Jawa, upacara peralihan dilaksanakan dalam peristiwa
kelahiran,perkawinan dan kematian. Dalam makalah ini kami mengangkat upacara tingkeban yang termasuk dalam
peristiwa kelahiran. Tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan oleh wanita
yang hamil pertama kali ketika kandungannya genap berusia tujuh bulan.
Dalam upacara ini ada beberapa rangkaian yang harus dilaksanakan diantaranya siraman dan
selamatan yang didalamnya terdapat makna dan symbol yang terkandung. Makna dan
simbol tersebut tidak dapat saling dipisahkan atau keduanya saling mempengaruhi. Simbol digunakan
oleh manusia untuk berkomunikasi tidak hanya dengan sesamnya melainkan juga
dengan makhluk diluar dirinya yang bersifat Supranatural atau gaib,demi menjaga
keseimbangan dalam alam hidupnya (Herawati,2007:145).
Dalam
upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang tujuh rupa dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang dilahirkan selamat
dan sehat. Setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya kelak menjadi anak yang
baik dan patuh kepada orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan ini juga
dilakukan oleh sepasang suami isteri, maksudnya untuk kebaikan bagi anak yang
dikandungnya.
Dari simbol tindakan dan sesaji
ritual tingkeban atau mitoni, memang tampak bahwa masyarakat jawa memiliki
harapan - harapan keselamatan. Masyarakat jawa berpandangan bahwa tingkeban
atau mitoni ini sebagai ritual yang khusus dan harus diperhatikan. Dengan
demikian, dapat dikatakan nahwa makna dan fungsi budaya selamatan mitoni adalah
untuk mewariskan budaya leluhur, agar tidak mendapatkan marabahaya dan untuk
menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan dan keselamatan hidup yaitu
tanpa gangguan dari manapun.
Selain itu, tradisi tujuh bulanan
atau mitoni atau tingkeban menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir
positif. Tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuannya agar anak yang dikandung terlahir secara selamat, fisik yang sempurna
dan tidak ada gangguan apapun. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti jawa
yang selalu memproses diri melalui penyucian diri untuk memohon kepada yang
Maha Kuasa, artinya sebagai wujud pengabdian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
rumusan masalah yang dapat kita ambil adalah
1.
Bagaimana sejarah kebudayaan
mitoni
atau tingkeban ?
2. Bagaimana
prosesi mitoni atau tingkeban ?
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah
1.
Untuk mengetahui sejarah kebudayaan mitoni atau tingkeban.
2.
Untuk mengetahui prosesi mitoni atau
tingkeban.
1. Manfaat
akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pembaca dalam mengetahui prosesi mitoni atau tingkeban adat jawa dan
diharapkan dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi pembaca.
Dalam penulisan
penelitian ini, penulis melakukan wawancara di tempat tinggal narasumber di daerah Kedok, Turen, Kabupaten Malang. Wawancara dilakukan
pada tanggal 10 Oktober 2013.
Alasan pemilihan lokasi penelitian karena di wilayah tersebut masih sering dilaksanakannya
prosesi tingkeban atau mitoni.
Nama Narasumber : Rr. Soesrasmi
Tempat, Tanggal Lahir : Bangil, 10 Mei 1930
Alamat :
Kedok, Turen, Kabupaten Malang
Data
Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti (Suyanto, 2006:55). Dalam wawancara ini,pernytaan narasumber tersebut didapat dari
pernyataan nenek moyang terdahulu secara turun temurun.
a. Data kualitatif adalah data yang diperoleh terdiri
dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman,
pendapat,
perasaan,
dan pengetahuannya (Suyanto
dan Sutinah, 2006:186).
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Riset kepustakaan, adalah suatu metode pengumpulan
data dengan cara melakukan peninjauan pustaka dari berbagai sumber seperti buku, internet yang menyangkut teori-
teori yang relevan dengan masalah yang dibahas.
2.
Wawancara mendalam
Dalam wawancara mendalam terdapat wawancara terencana dan wawancara tidak
terencana. Dalam wawancara ini kami memakai wawancara terencana. Wawancara
terencana adalah model wawacaran berencana yang biasanya daftar pertanyaan atau
kuesioner telah disiapkan sebelumnya oleh pewawancara dan disusun secara
sistematis (SuyantodanSutinah,2006:77).
Ritual mitoni atau tingkeban ada
sejak zaman kuno. Menurut narasumber dan kami lengkapi dari sumber internet,
asal usulnya adalah sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb, pernah
punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang.
Mereka telah meminta bantuan banyak kepada orang - orang pintar, dukun, tetapi
masih belum berhasil. Karena tidak kuat dengan derita yang dialaminya, kedua
pasangan suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan kepada Jayabaya,
sang ratu yang terkenal sakti.
Raja jayabaya terkenal bijak dan
sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati dia memberi bantuan kepada
rakyatnya yang menderita. Kedua suami istri tersebut dinasihati dan supaya
melakukan ritual, caranya : sebagai
syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat baik dan
suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada
Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber mata air.
Kemudian berpasrah diri lahir dan batin.
Sesudah memohon kepada Gusti apa
yang menjadi kehendak mereka, terutama kesehatan dan kesejahteraan si bayi.
Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala,
supaya mendapat berkah dari Gusti.
Rupanya, tuhan memperkenankan permohonan
mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan
berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut
Tingkeban. Mitoni sendiri berasal dari kata pitu atau tujuh. Hal itu karena
mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Ritual ini bertujuan
agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Ada beberapa rangkaian
upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman sebagai simbol, memasukkan
telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana,
memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/janur, memecahkan periuk
dan
gayung, minum jamu sorongan dan mencuri telur.
Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan
petaka dari ibu dan calon bayinya. Ritual mitoni sarat dengan simbolisasi.
Upacara siraman, misalnya adalah sebagai simbol pembersihan atas segala
kejahatan dari bapak dan ibu calon si bayi. Sedangkan memasukkan telur ayam
kampung ke dalam kain calon ibu adalah perwujudan dari harapan agar bayi bisa
dilahirkan tanpaadanya hambatan. Memasukkan kelapa gading muda ke dalam sarung
dari perut atas calon ibu ke bawah adalah simbolisasi agar tidak ada arah melintang
yang menghalangi kelahiran si bayi.
Setelah itu calon ibu akan berganti
pakaian dengan kain 7 motif. Para tamu diminta untuk memilih kain yang paling
cocok dengan calon ibu. Sedangkan pemutusan lilitan benang atau janur yang
dilakukan setelah pergantian kain masih bermakna agar kelahiran berjalan dengan
lancar dan lilitan itu harus dipotong oleh suami. Pemecahan gayung atau periuk
mengandung makna agar nanti saat ibu mengandung lagi, diharapkan kehamilannya
berjalan dengan lancar. Sedangkan upacara minum jamu sorongan (dorongan) berarti
bayi bisa lahir dengan cepat dan lancar seperti disurung (didorong). Dan yang
terakhir, mencuri telur merupakan perwujudan atas keinginan calon bapak agar
proses kelahiran berjalan dengan cepat, secepat maling yang mencuri.
Untuk melakukan mitoni, harus
dipilih hari bagus dan membawa berkah. Orang Jawa memiliki perhitungan khusus
dalam menentukan hari baik dan hari yang dianggap kurang baik. Selain itu,
biasanya mitoni digelar pada siang atau sore hari. Hari yang dianggap baik
adalah Senin siang sampai malam serta Jumat siang sampai Jumat malam. Mitoni
tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat. Dulu mitoni biasa dilakukan di
pasren atau tempat bagi para petani untuk memuja Dewi Sri, Dewi Kemakmuran bagi
para petani. Namun mengingat dewasa ini sangat jarang ditemui pasren, maka
mitoni dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga selama ruangan itu cukup
besar untuk menampung banyak tamu. Anggota keluarga yang tertua dipercaya untuk
memimpin pelaksanaan mitoni. Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu
yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama demi keselamatan ibu dan calon
bayinya. Tidak lupa setelah itu mereka akan diberi berkat untuk dibawa pulang.
Berkat itu biasanya berisi nasi lengkap beserta lauk pauknya.
1.
Persyaratan Mitoni atau Tingkeban
a.
Jenang 7 macam : Kombinasi 7 macam, jenang merah,
jenang putih, merah ditumpangi putih, putih ditumpangi merah, putih disilang
merah, merah disilang putih, baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan
kelapa dan sisiran gula jawa).
Menurut
Herawati (2007:146) menyatakan bahwa
-
Jenang abang (merah) adalah jenang yang terbuat dari
bubur beras ketan yang dicampur gula merah supaya warnanya merah.
-
Jenang putih adalah jenang yang dibuat dari bubur
beras ketan dicampur santan kelapa.
-
Jenang plirit adalah jenang yang dibuat dari bubur
beras ketan. Jenang ini dimasukkan kedalam takir (kotak yang
dibuat dari daun pisang) setengah jenang merah dan setengah jenang putih.
-
Jenang pupuk adalah jenang merah dan jenang putih yang
dibuat lingkaran dan ditempatkan kedalam takir (kotak yang terbuat dari
daun pisang).
-
Jenang baro-baro, jenang putih yang ditaburi irisan
gula merah dan parutan kelapa.
-
Jenang palang adalah jenang merah yang ditumpangi
silangan jenang putih.
-
Jenang pager ayu adalah jenang kebalikan dari jenang
pupuk, yaitu lingkaran sebelah dalam berwarna merah dan lingkaran luar berwarna
putih.
Bubur putih
dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan
sekeluarga.
b. Gudangan
mateng / sayurnya direbus.
Bahan :
Sayur 7
macam : Sayur 7 macam, harus ada
kangkung dan kacang
Nasi Megono : Nasi dicampur bumbu gudangan pedas lalu
dikukus
Jajanan pasar : terdiri dari
berbagai macam buah-buahan dan panganan yang dibeli di pasar. Untuk buah yang
harus ada adalah selirang pisang raja dan selirang pisang pulut. Kemudian untuk
panganan jajanan terdiri dari kacang rebus, gethuk dan sebagainya.
(Herawati, 2007:147)
Rujak : dibuat dari
buah - buahan mentah yang diiris - iris.
Buah - buahan ini berjumlah tujuh macam, diantaranya buah kedondong, pisang
kluthuk, nanas, pepaya, mangga, belimbing, dan bengkoang. Adapun bumbunya
adalah cabe, garam, terasi, dan gula merah (gula Jawa) (Herawati, 2007:147).
c. Aneka Ragam
Kolo
Kolo
kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo
merambat (ubi/ketela rambat), kacang tanah, singkong, talas, ketela,
pepaya. Direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis
kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja.
d. Tumpeng
ditaruh di atas saringan santan yang baru atau biasa disebut kalo. Bawahnya tumpeng
dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang.
Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng. Telur ayam jumlahnya 7
butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Telur boleh di
belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi cabe merah, bawang
merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal. Tusuk
satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng. Setelah ubo rampe
semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara
atau agama masing masing. Inilah flesibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.
2.
Tata Cara Mitoni atau
Tingkeban.
a.
Siraman atau mandi
Merupakan simbol upacara bagi
pernyataan tanda pembersih diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersih secara
simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa sehingga kalau kelak si
calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses
kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin
oleh anggota keluarga yang tertua.
b.
Upacara Ganti Pakaian
Calon Ibu mengenakan kain putih
sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi yang akan
di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME.
c.
Upacara Angrem
Setelah upacara
ganti busana, calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang tadi habis di
gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan
dan anak yang di kandungnya dengan hati-hati dan
penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur
merah putih sebagai simbol kasih
sayang seorang suami dan calon ayah.
d. Dodol Rujak
Pada upacara
ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu yang hadir
membelinya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara
ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat
menghidupi keluarganya.
PENUTUP
Tradisi
adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti
Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang
merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama
yang dianut oleh mayoritas suku Jawa di Desa Sidomulyo. Namun, sebagaimana
hasil penelitian penulis, tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan
dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt, dalam rangka keselamatan dan
kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari berbagai kotoran dan
noda dosa yang selama ini telah dilakukan.
Paling tidak dari tradisi
ini terkandung nilai - nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain :
1. Melestarikan
tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan.
2. Menjaga
keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan.
3. Karakter
masyarakat yang berfikir positif.
4. Proses
penyucian diri ketika memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa
Manurut kami
sebaiknya budaya tingkeban atau mitoni ini perlu dilestarikan secara terus
menerus. Diteruskan oleh generasi anak cucu kita kelak, karena tingkeban ini
merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar proses kelahiran
ibunya calon si bayi berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Selain itu,
agar si bayi pada saat lahir di dunia ini tanpa ada cacat fisik, dan sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
Arlia, L. 2013. Kajian
Lintas Budaya Asal Usul Mitoni. (online). http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/mitoni.
Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013.
Suyanto,
B dan Sutinah. 2006. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Herawati,
I. 2007. Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your Comment Please...