Sabtu, 07 Desember 2013

MAKALAH ANTROPOLOGI TENTANG TRADISI MITONI ATAU TINGKEBAN


TRADISI ADAT JAWA DALAM PROSESI
MITONI ATAU TINGKEPAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Dasar Dasar Antropologi
yang dibina oleh Bapak Waskito, S. Sos, M. Hum



oleh
Adi Supriyatno                       130732607176
Mei Wulandhari                      130732616146
Muhammad Nashrulloh          130732607185
Nafisatul Farida                      130732607186
Novita Sari                              130732616147
Endra Wahyudi                       130732607174






 


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
September 2013


Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas “TRADISI ADAT JAWA DALAM PROSESI MITONI ATAU TINGKEPAN “. Makalah ini dalam rangka penyusunan makalah kelompok.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen matakuliah Dasar Dasar Antropologi Bapak Waskito, S. Sos, M. Hum yang telah membimbing penyusun sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menambah kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah “TRADISI ADAT JAWA DALAM PROSESI MITONI ATAU TINGKEPAN “ ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.


                                                                        Malang, 23 September 2013



                                            Penyusun







Pada masyarakat Jawa, upacara peralihan dilaksanakan dalam peristiwa kelahiran,perkawinan dan kematian. Dalam makalah ini kami mengangkat upacara tingkeban yang termasuk dalam peristiwa kelahiran. Tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan oleh wanita yang hamil pertama kali ketika kandungannya genap berusia tujuh bulan.
Dalam upacara ini ada beberapa rangkaian yang harus dilaksanakan diantaranya siraman dan selamatan yang didalamnya terdapat makna dan symbol yang terkandung. Makna dan simbol tersebut tidak dapat saling dipisahkan atau  keduanya saling mempengaruhi. Simbol digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi tidak hanya dengan sesamnya melainkan juga dengan makhluk diluar dirinya yang bersifat Supranatural atau gaib,demi menjaga keseimbangan dalam alam hidupnya (Herawati,2007:145).
Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang tujuh rupa dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang dilahirkan selamat dan sehat. Setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya kelak menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan ini juga dilakukan oleh sepasang suami isteri, maksudnya untuk kebaikan bagi anak yang dikandungnya.
Dari simbol tindakan dan sesaji ritual tingkeban atau mitoni, memang tampak bahwa masyarakat jawa memiliki harapan - harapan keselamatan. Masyarakat jawa berpandangan bahwa tingkeban atau mitoni ini sebagai ritual yang khusus dan harus diperhatikan. Dengan demikian, dapat dikatakan nahwa makna dan fungsi budaya selamatan mitoni adalah untuk mewariskan budaya leluhur, agar tidak mendapatkan marabahaya dan untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan dan keselamatan hidup yaitu tanpa gangguan dari manapun.

Selain itu, tradisi tujuh bulanan atau mitoni atau tingkeban menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir positif. Tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tujuannya agar anak yang dikandung terlahir secara selamat, fisik yang sempurna dan tidak ada gangguan apapun. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti jawa yang selalu memproses diri melalui penyucian diri untuk memohon kepada yang Maha Kuasa, artinya sebagai wujud pengabdian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat kita ambil adalah
1.      Bagaimana sejarah kebudayaan mitoni atau tingkeban ?
2.      Bagaimana prosesi mitoni atau tingkeban ?


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1.      Untuk mengetahui sejarah kebudayaan mitoni atau tingkeban.
2.      Untuk mengetahui prosesi mitoni atau tingkeban.

1.      Manfaat akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam mengetahui prosesi mitoni atau tingkeban adat jawa dan diharapkan dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan bagi pembaca.





Dalam penulisan penelitian ini, penulis melakukan wawancara di tempat tinggal narasumber di daerah Kedok, Turen, Kabupaten Malang. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2013. Alasan pemilihan lokasi penelitian karena di wilayah tersebut masih sering dilaksanakannya prosesi tingkeban atau mitoni.


Alamat                                                : Kedok, Turen, Kabupaten Malang


Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti (Suyanto, 2006:55). Dalam wawancara ini,pernytaan narasumber tersebut didapat dari pernyataan nenek moyang terdahulu secara turun temurun.
 

a.       Data kualitatif adalah data yang diperoleh terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya (Suyanto dan Sutinah, 2006:186).


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      Riset kepustakaan, adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara melakukan peninjauan pustaka dari berbagai sumber  seperti buku, internet yang menyangkut teori- teori yang relevan dengan masalah yang dibahas.
2.      Wawancara mendalam
Dalam wawancara mendalam terdapat wawancara terencana dan wawancara tidak terencana. Dalam wawancara ini kami memakai wawancara terencana. Wawancara terencana adalah model wawacaran berencana yang biasanya daftar pertanyaan atau kuesioner telah disiapkan sebelumnya oleh pewawancara dan disusun secara sistematis (SuyantodanSutinah,2006:77).


B AB III



Ritual mitoni atau tingkeban ada sejak zaman kuno. Menurut narasumber dan kami lengkapi dari sumber internet, asal usulnya adalah sepasang suami istri, Ki Sedya dan Niken Satingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak kepada orang - orang pintar, dukun, tetapi masih belum berhasil. Karena tidak kuat dengan derita yang dialaminya, kedua pasangan suami istri itu memberanikan diri memohon pertolongan kepada Jayabaya, sang ratu yang terkenal sakti.
Raja jayabaya terkenal bijak dan sangat dekat dengan rakyatnya, dengan senang hati dia memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita. Kedua suami istri tersebut dinasihati dan supaya melakukan ritual, caranya :  sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat baik dan suka menolong dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Gusti, Tuhan dan mandi suci dengan air yang berasal dari tujuh sumber mata air. Kemudian berpasrah diri lahir dan batin.
Sesudah memohon kepada Gusti apa yang menjadi kehendak mereka, terutama kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah dari Gusti.
 Rupanya, tuhan memperkenankan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapatkan momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat Niken Satingkeb, upacara mitoni juga disebut Tingkeban. Mitoni sendiri berasal dari kata pitu atau tujuh. Hal itu karena mitoni diadakan ketika usia kandungan masuk tujuh bulan. Ritual ini bertujuan agar calon bayi dan ibu selalu mendapatkan keselamatan. Ada beberapa rangkaian upacara yang dilakukan dalam mitoni, yaitu siraman sebagai simbol, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan

gayung, minum jamu sorongan dan mencuri telur. Rangkaian upacara itu dipercaya sebagai prosesi pengusiran marabahaya dan petaka dari ibu dan calon bayinya. Ritual mitoni sarat dengan simbolisasi. Upacara siraman, misalnya adalah sebagai simbol pembersihan atas segala kejahatan dari bapak dan ibu calon si bayi. Sedangkan memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu adalah perwujudan dari harapan agar bayi bisa dilahirkan tanpaadanya hambatan. Memasukkan kelapa gading muda ke dalam sarung dari perut atas calon ibu ke bawah adalah simbolisasi agar tidak ada arah melintang yang menghalangi kelahiran si bayi.
Setelah itu calon ibu akan berganti pakaian dengan kain 7 motif. Para tamu diminta untuk memilih kain yang paling cocok dengan calon ibu. Sedangkan pemutusan lilitan benang atau janur yang dilakukan setelah pergantian kain masih bermakna agar kelahiran berjalan dengan lancar dan lilitan itu harus dipotong oleh suami. Pemecahan gayung atau periuk mengandung makna agar nanti saat ibu mengandung lagi, diharapkan kehamilannya berjalan dengan lancar. Sedangkan upacara minum  jamu sorongan (dorongan) berarti bayi bisa lahir dengan cepat dan lancar seperti disurung (didorong). Dan yang terakhir, mencuri telur merupakan perwujudan atas keinginan calon bapak agar proses kelahiran berjalan dengan cepat, secepat maling yang mencuri.
Untuk melakukan mitoni, harus dipilih hari bagus dan membawa berkah. Orang Jawa memiliki perhitungan khusus dalam menentukan hari baik dan hari yang dianggap kurang baik. Selain itu, biasanya mitoni digelar pada siang atau sore hari. Hari yang dianggap baik adalah Senin siang sampai malam serta Jumat siang sampai Jumat malam. Mitoni tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat. Dulu mitoni biasa dilakukan di pasren atau tempat bagi para petani untuk memuja Dewi Sri, Dewi Kemakmuran bagi para petani. Namun mengingat dewasa ini sangat jarang ditemui pasren, maka mitoni dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga selama ruangan itu cukup besar untuk menampung banyak tamu. Anggota keluarga yang tertua dipercaya untuk memimpin pelaksanaan mitoni. Setelah melakukan serangkaian upacara, para tamu yang hadir diajak untuk memanjatkan doa bersama demi keselamatan ibu dan calon bayinya. Tidak lupa setelah itu mereka akan diberi berkat untuk dibawa pulang. Berkat itu biasanya berisi nasi lengkap beserta lauk pauknya.


1.      Persyaratan Mitoni atau Tingkeban
a.       Jenang 7 macam : Kombinasi 7 macam, jenang merah, jenang putih, merah ditumpangi putih, putih ditumpangi merah, putih disilang merah, merah disilang putih, baro-baro (bubur putih diatasnya dikasih parutan kelapa dan sisiran gula jawa).
Menurut Herawati (2007:146) menyatakan bahwa
-          Jenang abang (merah) adalah jenang yang terbuat dari bubur beras ketan yang dicampur gula merah supaya warnanya merah.
-          Jenang putih adalah jenang yang dibuat dari bubur beras ketan dicampur santan kelapa.
-          Jenang plirit adalah jenang yang dibuat dari bubur beras ketan. Jenang ini dimasukkan kedalam takir (kotak yang dibuat dari daun pisang) setengah jenang merah dan setengah jenang putih.
-          Jenang pupuk adalah jenang merah dan jenang putih yang dibuat lingkaran dan ditempatkan kedalam takir (kotak yang terbuat dari daun pisang).
-          Jenang baro-baro, jenang putih yang ditaburi irisan gula merah dan parutan kelapa.
-          Jenang palang adalah jenang merah yang ditumpangi silangan jenang putih.
-          Jenang pager ayu adalah jenang kebalikan dari jenang pupuk, yaitu lingkaran sebelah dalam berwarna merah dan lingkaran luar berwarna putih.
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain dimakan sekeluarga.



b.      Gudangan mateng / sayurnya direbus.
Bahan :
Sayur 7 macam      : Sayur 7 macam, harus ada kangkung dan kacang
Nasi Megono       : Nasi dicampur bumbu gudangan pedas lalu dikukus
Jajanan pasar       : terdiri dari berbagai macam buah-buahan dan panganan yang dibeli di pasar. Untuk buah yang harus ada adalah selirang pisang raja dan selirang pisang pulut. Kemudian untuk panganan jajanan terdiri dari kacang rebus, gethuk dan sebagainya. (Herawati, 2007:147)
Rujak                   : dibuat dari buah - buahan mentah yang diiris -  iris. Buah - buahan ini berjumlah tujuh macam, diantaranya buah kedondong, pisang kluthuk, nanas, pepaya, mangga, belimbing, dan bengkoang. Adapun bumbunya adalah cabe, garam, terasi, dan gula merah (gula Jawa) (Herawati, 2007:147).

c.       Aneka Ragam Kolo
Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo merambat (ubi/ketela rambat), kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. Direbus kecuali pepaya. Pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi bisa dipilih salah satu saja.

d.       Tumpeng ditaruh di atas saringan santan yang baru atau biasa disebut kalo. Bawahnya tumpeng dialasi daun pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar kalo tidak ngglimpang. Sayur 7 macam direbus diletakkan mengelilingi tumpeng. Telur ayam jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Telur boleh di belah jadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi cabe merah, bawang merah, telur utuh dikupas kulitnya, cabe merah besar, tancapkan vertikal. Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng. Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan tata cara atau agama masing masing. Inilah flesibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa.

2.      Tata Cara Mitoni atau Tingkeban.
a.       Siraman atau mandi
Merupakan simbol upacara bagi pernyataan tanda pembersih diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersih secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh anggota keluarga yang tertua.

b.      Upacara Ganti Pakaian
Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME.

c.       Upacara Angrem
Setelah upacara ganti busana, calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang tadi habis di gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan dan anak yang di kandungnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur merah putih sebagai simbol kasih sayang seorang suami dan calon ayah.

d.      Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu yang hadir membelinya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi keluarganya.





PENUTUP



Tradisi adat Jawa tujuh bulanan (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku Jawa di Desa Sidomulyo. Namun, sebagaimana hasil penelitian penulis, tradisi ini sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan kepada Allah Swt, dalam rangka keselamatan dan kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari berbagai kotoran dan noda dosa yang selama ini telah dilakukan.
Paling tidak dari tradisi ini terkandung nilai - nilai filosofis dalam kehidupan, antara lain :
1.      Melestarikan tradisi leluhur dalam rangka memohon keselamatan.
2.      Menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan.
3.      Karakter masyarakat yang berfikir positif.
4.      Proses penyucian diri ketika memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa


Manurut kami sebaiknya budaya tingkeban atau mitoni ini perlu dilestarikan secara terus menerus. Diteruskan oleh generasi anak cucu kita kelak, karena tingkeban ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar proses kelahiran ibunya calon si bayi berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Selain itu, agar si bayi pada saat lahir di dunia ini tanpa ada cacat fisik, dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.








Arlia, L. 2013. Kajian Lintas Budaya Asal Usul Mitoni. (online). http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/mitoni. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2013.

Suyanto, B dan Sutinah. 2006. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Herawati, I. 2007. Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave Your Comment Please...